Jakarta – Ketika dunia terjerat ketegangan geopolitik, perang dagang, dan krisis kemanusiaan yang seakan tanpa ujung, sebuah gerakan hening namun penuh makna muncul dari pelosok Jawa Barat.
Agama harus menjadi energi cinta, bukan alat permusuhan
Ribuan orang berkumpul di Pondok Pesantren Al Mizan Jatiwangi, bukan untuk berdemo atau bersuara lantang, melainkan bershalawat dan berdoa dalam hening. Nama gerakannya: Akar Djati.
Paguyuban sholawat yang digagas oleh KH. Maman Imanulhaq ini tak hanya menyuarakan nilai keagamaan, tetapi juga membawa pesan global: bahwa dunia yang kacau bisa disembuhkan, jika manusia kembali ke akar spiritualitas dan cinta kasih.
"Agama harus menjadi energi cinta, bukan alat permusuhan," tegas Kiai Maman di hadapan ribuan jamaah pada Senin, 7 April 2025.
Ia menekankan bahwa Indonesia, sebagai negara muslim terbesar di dunia, memiliki tanggung jawab moral untuk menunjukkan wajah Islam yang ramah, solutif, dan merangkul.
Acara bertajuk Seruan Damai untuk Dunia itu menjadi panggung bagi suara dari desa yang melampaui batas geografi. Dengan lantunan sholawat, pembacaan syair perdamaian, dan pertunjukan seni budaya lokal,
Akar Djati mengirim pesan alternatif kepada dunia yang saat ini lebih sering mendengar dentuman senjata daripada suara hati nurani.
Bukan hanya soal spiritualitas, gerakan ini juga mengusung agenda konkret: membangun ketahanan pangan, memperkuat solidaritas sosial, dan menyebarkan nilai gotong royong.
“Kita tidak cukup hanya berdoa, tapi juga harus membangun kemandirian dan menyucikan niat dalam setiap gerakan kita," ujarnya.
Dengan ribuan anggota di wilayah Cirebon Raya, Sumedang, Subang, hingga Bandung, Akar Djati menegaskan dirinya sebagai gerakan spiritual-kebudayaan yang hidup dan membumi.
Sebuah gerakan dari akar rumput, namun menatap cakrawala global.
Di tengah kebijakan proteksionis yang menutup diri, Akar Djati justru membuka jalan keterlibatan lintas iman dan budaya.
Mereka percaya bahwa perdamaian bukan utopia, asal manusia berani kembali ke nilai dasar: kemanusiaan dan ketuhanan.
Sejumlah tokoh juga turut hadir memperkuat pesan tersebut, seperti Nyai H. Upik Rofikoh, KH. Acep T. Khozin, serta tokoh-tokoh Akar Djati lain seperti Drs Hariri, Gus Mari Muhammad Hadiq, dan Hj. Eli.
Kebersamaan mereka mencerminkan semangat kolektif yang ingin menyambungkan spiritualitas dengan kerja sosial nyata.
Lewat langkah-langkah kecil, Akar Djati membuktikan bahwa suara dari pinggiran bisa menggema hingga pusat dunia—bukan dengan kekuatan senjata, tapi dengan kekuatan sholawat dan cinta.[]