Luwu Timur - Masyarakat nelayan di Desa Pasi-pasi, Kecamatan Malili, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, mengaku dirugikan akibat aktivitas pertambangan milik PT Citra Lampia Mandiri (CLM). Masifnya aktivitas tambang, membuat nelayan kehilangan mata pencaharian untuk melaut.
Nelayan menyesalkan karena sebelum beroperasi, pihak perusahaan tidak berkonsultasi terlebih dahulu.
“Makanya yang kita suarakan selama ini tentang Amdal (analisis mengenai dampak lingkungan),” kata Muhammad Anwar, seorang nelayan yang ditemui di rumahnya, Rabu 29 Juni 2022.
Masyarakat merasakan dampak dari kegiatan tambang sejak dua tahun terakhir. Dimana, mereka harus mencari ikan di luar kawasan pesisir pantai di desanya. Karena sudah tercemar limbah tambang. Air laut juga keruh, apalagi ketika musim hujan tiba.
“Warnanya kayak cokelat itu,” ucap pria 45 tahun ini.
Sulitnya mendapatkan ikan, membuat masyarakat turun berdemonstrasi menuntut kepada perusahaan supaya bertanggung jawab.
- Baca juga: Tipu Muslihat Vale Memperluas Konsesi
Tuntutan nelayan adalah pengadaan alat operasional. Karena bagi nelayan, uang bisa dicari asalkan alat tangkap memadai dan tersedia. Namun, pihak perusahaan tak meresponnya.
“(Ganti rugi) uang itu alternatif lain. Kita minta seperti papan, alat tangkap atau sekalian mesin untuk ke wilayah tangkap baru,” ujar Anwar.
“Tapi diabaikan karena kita masyarakat kecil,” tambahnya.
Menurut dia, sejak April lalu, masyarakat intens berunjuk rasa mendesak perusahaan menuntaskan persoalan ini. Mereka bahkan mendatangi perusahaan supaya tuntutan mereka bisa didengarkan langsung.
Unjuk rasa kemudian diakhiri dengan pertemuan antara pihak perusahaan dengan aparatur desa setempat. Mengingat perusahaan kerap berkonsultasi ke perangkat desa bila warga menuntut.
Hanya saja, pertemuan itu, kata Anwar, tidak menghasilkan solusi. Masyarakat tak puas dan menganggap pihak perusahaan abai dengan tuntutan warga.
“Kemungkinan besar perusahaan bingung. Jadi, sekarang kita ke Pak RT, meminta bantuan ke pemerintah supaya difasilitasi,” ujar Anwar.
Karena, masyarakat tahu ada tambang beroperasi saat alat berat mondar-mandir di perkampungan. Kemudian, limbahnya mencemari wilayah tangkap nelayan di pesisir desa.
Pemerintah pun dianggap abai lantaran persoalan ini sudah sering kali diprotes. Akan tetapi, pemerintah tak memiliki hati nurani untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat. Terakhir masyarakat bertemu pihak perusahaan dan pemerintah desa pada pertengahan April 2022.
“Entah apa kendalanya sehingga seperti ini?,” ucap Anwar kebingungan.
Senada dikatakan, Muhammad Said. Nelayan Desa Pasi-pasi ini mengaku masyarakat kerap mempertanyakan mengenai Amdal perusahaan. Warga sering mengajak pihak perusahaan bertemu dan mengajak ke dermaga melihat kondisi laut yang tercemar. Namun tidak pernah direspon.
“Kalau ikut aturan, sebelum perusahaan beroperasi, harusnya ada komunikasi. Ini kan tidak ada,” ucap pria 48 tahun ini.
Dokumen yang diperoleh, PT CLM ini belum melengkapi izin pengelolaan dan izin pemanfaatan limbah B3.
Menanggapi kondisi tersebut, Supervisor Eksternal Department PT CLM, Fauzi Lukman mengaku, tidak tahu-menahu jika aktivitas pertambangan berdampak ke warga. “Kami belum pernah dengar,” kata Fauzi.
Selama ini, Fauzi mengklaim, pihaknya selalu berkonsultasi dengan pemerintah, dalam hal ini Dinas Lingkungan Hidup Luwu Timur terkait pengawasannya dan dampak tambang.
“Dinas Lingkungan Hidup rutin melakukan pengawasan terhadap dampak yang mungkin ditimbulkan dari aktivitas produksi,” ujarnya.
Terkait izin limbah, Fauzi membantah jika PT CLM tak memilikinya.
“Kami kurang paham jika ada informasi tersebut, tapi terkait kelengkapan izin pengelolaaan LB3 (Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun) dimaksud telah submit di Kementerian ESDM,” tutur dia.
Masyarakat adat di Kecamatan Wasuponda juga mengalami hal serupa. Namun yang melakukan aktivitas tambang adalah PT Indonesia">Vale Indonesia.
Warga juga kaget lantaran ada wilayah konsesi, tanpa adanya konsultasi dan sosialisasi terlebih dulu.
“Ketika ada patok, baru kita tahu. Dan orang perusahaan bilang itu wilayah kami,” kata Ameria Sinta, masyarakat adat Padoe.
Menurut dia, pihak perusahaan menyampaikan kepada masyarakat bahwa kawasan hutan telah dikuasai oleh PT Vale. “Jadi, ada orang Vale masuk ke hutan, memeriksa wilayah konsesinya,” ungkap perempuan 42 tahun ini. Karena tidak adanya pemberitahuan awal, dia pun tidak mengetahui berapa luasan wilayah konsesi tersebut.
Lukman, warga Desa Balambano, mengatakan lahannya diklaim oleh perusahaan atas kesepakatan dengan pemerintah.
“Ya, katanya kontrak karya. Itu saja alasannya, saya juga tidak pernah lihat isi kontrak karyanya,” tutur pria 48 tahun ini.
Bahkan, Lukman terus mempertanyakan ke pemerintah desa soal kejelasan lahannya yang diklaim sepihak oleh perusahaan. Namun, dia tidak pernah mendapatkan jawaban.
Menurut Direktur Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sulsel, Muhammad Al Amin, tak hanya konflik sosial yang terjadi di Luwu Timur.
Akan tetapi, perusahaan-perusahaan tambang juga membahayakan masyarakat. Misalnya temuan Friends of the Earth (FoE) Japan bekerja sama dengan WALHI Sulsel, ada zat kromium heksavalen 0,75 persen di Sungai Tapulemo.
“Itu bisa menyebabkan kanker, dan sungai itu mengalir ke Danau Matano,” ujar Amin.
Terpisah, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sulsel, Andi Hasbi Nur mengaku bukan wewenang pemerintah provinsi untuk mengevaluasi izin tambang di Luwu Timur.
Alasannya semua ada di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Oleh karena itu, ia berharap KLHK lebih aktif dalam melakukan pengawasan dan penegakan hukum.
“Kita selalu menanggapi bila ada aduan, walaupun sebenarnya bukan kami yang punya wewenang dalam pengawasannya,” kata Andi Hasbi. “Kita berharap tidak ada persoalan yang berdampak ke warga.”
Saat ingin dikonfirmasi Head of Communication PT Vale Indonesia, Bayu Aji tak merespon hingga berita ini diterbitkan. Telepon tidak diangkat, pesan WhatsApp hanya dibaca, dan surat permintaan wawancara pun diabaikan. []
Liputan ini didukung oleh Rainforest Journalism Fund, Pulitzer Center