Kemenkumham Harap Partisipasi Warga Susun RUU Hukum Acara Perdata

Sekretaris Dirjen Perundang-undangan Kemenkumham, Hani Susila Wardoyo saat diskusi terkait RUU Hukum Acara Perdata di Hotel Claro Makassar.(Alur.id)

MAKASSAR - Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) terus menggodok Rancangan Undang Undang Hukum Acara Perdata yang dianggap saat ini sudah tidak sesuai perkembangan. Setidaknya ada 12 poin dari Kemenkumham terkait RUU Hukum Acara Perdata.

Sekretaris Direktorat Jenderal Peraturan Perundangan Undangan Kemenkumham Heni Susila Wardoyo mengatakan RUU Hukum Acara perdata sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sejak tahun 2022. Bahkan untuk menyusun RUU Hukum Acara Perdata, Presiden Joko Widodo sampai menerbitkan surat presiden (surpres) pada tahun 2021 agar RUU Hukum Acara Perdata dibahas di DPR bersama pemerintah melalui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. 

"Pada 4 September 2024, Komisi III DPR dan Kemenkumham menyepakati RUU Hukum Acara Perdata menjadi RUU operan atau carry over. Sehingga pembahasan rancangan undang-undang ini akan dilaksanakan pada tahun berikutnya," ujarnya di Hotel Claro Makassar, Selasa (15/10/2024).

Meski demikian, kata Heni Susila, untuk penyempurnaan RUU Hukum Acara Perdata perlu partisipasi publik. Apalagi, peraturan perundang-undangan acara hukum perdata yang ada saat ini merupakan peninggalan Hindia Belanda.

"Nah untuk mewujudkan hukum acara perdata yang bersifat unifikasi nasional, sebagai sebuah sistem nasional maka dilakukan penataan kembali materi hukum acara perdata yang tersebar dan menginventarisir substansi yang terkait dengan hukum acara perdata. Ini untuk memenuhi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat yaitu dengan menambah norma maupun mempertegas kembali yang sudah ada," bebernya.

Sebagai penyempurnaan hukum acara perdata yang ada dan berlaku saat ini, Kemenkumham membagi menjadi 12 poin. Pertama terkait pihak-pihak yang menjadi saksi melakukan penyitaan. Kedua, kepastian atas waktu terkait barang yang tidak dapat disita, ketiga penyitaan barang di tempat-tempat tertentu.

"Keempat penguatan jangka waktu penyitaan, kelima jangka waktu penyampaian boleh kasasi, keenam, jangka waktu pengiriman permohonan kasasi memori kasasi dan kontrak memori kasasi. Ketujuh kepastian waktu pengiriman salinan putusan kasasi pengadilan, delapan kepastian waktu pengiriman salinan putusan kasasi kepada para pihak," urainya.

Poin sembilan yakni kondisi ketika Mahkamah Agung yang ingin mendengar sendiri para pihak atau para saksi dalam pemeriksaan kasasi. Sepuluh, penguatan batas waktu pengiriman berkas perkara peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.

"Sebelas, formulasi keikutsertaan pihak ketiga dan ke-12 yakni reformasi pemeriksaan perkara acara singkat, kemudian pemeriksaan acara dengan cepat formulasi jenis putusan dan penandatangan putusan peradilan oleh Ketua majelis anggota majelis dan KPPA yang bersidang dan penandatanganan putusan," tuturnya.

Heni berharap RUU hukum acara perdata  diarahkan untuk memberikan kepastian hukum keadilan dan pemanfaatan bagi semua pihak. Tak hanya itu, RUU Hukum Acara Perdata bisa  memberikan jaminan kepastian hukum terhadap hak asasi dan kewajiban perkembangan masyarakat yang cepat. 

"Pengaruh globalisasi sehingga menuntut adanya hukum acara perdata yang dapat mengatasi sengketa di bidang perdata dengan cara efektif dan efisien, sesuai asas sederhana, mudah, dan biaya ringan," tegasnya.

Heni menegaskan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan tidak boleh serampangan dan tergesa-gesa. Ia menekankan partisipasi publik dalam setiap pembentukan perundang-undangan.

"Harus betul-betul perhatikan partisipasi masyarakat agar proses dalam pembentukan perundang-undangan benar-benar dapat menjadi solusi dan memenuhi permasalahan hukum ke depan," tegasnya.

Sementara Kepala Kantor Kemenkumham Sulsel, Taufiqurrakhman menambahkan UU Hukum Acara Perdata yang ada saat ini sudah tidak sesuai dengan perkembangan di masyarakat. Akibatnya, UU Hukum Acara Perdata dianggap tidak dapat menampung keinginan masyarakat.

"Hukum acara perdata yang ada saat ini sudah tidak sesuai dalam perkembangan dan pertumbuhan masyarakat kita. Perkembangan di masyarakat yang sangat cepat karena pengaruh globalisasi menuntut adanya hukum acara perdata yang dapat mengatasi sengketa perdata dengan cara yang efisien sesuai dengan asas mudah dan biaya ringan," tuturnya.

Taufiqurrakhman menyebut UU Hukum Acara sebelumnya terdapat dualisme yakni hukum perdata yang berlaku di Jawa dan Madura serta di luar Jawa dan Madura. Pembagian wilayah ini sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini.

"Keberlakuan hukum acara perdata adalah seluruh Indonesia dan berlaku untuk semua warga negara Indonesia tanpa membedakan dan golongan. Melihat hal itu sehingga perlu disusun undang-undang hukum acara perdata yang komprehensif sehingga dapat menampung perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat dengan memperhatikan prinsip-prinsip atau asas hukum acara perdata yang berlaku," tuturnya.[]

Komentar Anda