Jakarta – Anggota DPD RI, Pdt. Penrad Siagian, memberikan sejumlah masukan penting dalam Rapat Kerja Komite I DPD RI bersama Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Rini Widyantini, Wakil Menteri PANRB Purwadi Arianto, dan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) di Kompleks DPD RI, Jakarta, Selasa, 3 Desember 2024.
Ketika terlibat, mereka akan digerakkan menjadi sebuah kekuatan politik yang seharusnya tidak sesuai dengan undang-undang ASN nomor 20 tahun 2023
Senator asal Sumatra Utara ini menyoroti pelbagai persoalan, mulai dari penerimaan ASN dan PPPK, sistem merit, hingga tekanan politis terhadap ASN menjelang Pemilu 2024.
Penerimaan ASN dan PPPK
Penrad membuka pernyataannya dengan menyoroti ketimpangan dalam proses penerimaan ASN dan PPPK, yang menurutnya terlalu menguntungkan pelamar dari kota besar.
Ia meminta pemerintah mempertimbangkan kebijakan khusus yang disesuaikan dengan kondisi daerah.
“Jadi mungkin harus diambil sebuah kebijakan imperatif yang akhirnya mungkin tidak bisa disamakan di satu daerah dengan daerah lain karena berbeda konteks berbeda tingkat pendidikan dan lain-lain,” jelasnya.
Penrad juga menyampaikan keprihatinan atas nasib tenaga Honorer Kategori 2 (K2) yang telah mengabdi selama puluhan tahun namun kalah bersaing dengan lulusan baru.
“Tenaga honorer senior yang sudah berusia 50 tahun tentu tidak adil jika harus bersaing dengan fresh graduate, dan dengan teknologi yang dikuasai oleh kelompok-kelompok Gen-Z dan milenial. Ini sebuah kondisi di mana menjadi sebuah keprihatinan," katanya.
"Harus ada juga sebuah kebijakan atau skema maupun legacy untuk kemudian mengangkat mereka menjadi PPPK untuk menjadi ASN, karena tidak mungkin menyamakan proses dengan fresh graduate ini," sambung Penrad.
Sistem Merit dan Ancaman Korupsi Birokrasi
Penrad mengungkapkan hasil riset Paritas Institute, lembaga yang ia pimpin, bekerja sama dengan KPK beberapa tahun lalu, yang menemukan lemahnya penerapan sistem merit di berbagai daerah.
Ia menilai hal ini menjadi celah besar bagi korupsi dalam birokrasi, khususnya terkait promosi dan mutasi jabatan.
“Ketika merit sistem tidak berjalan dengan baik sampai ke daerah potensi korupsi itu akan selalu tinggi dan ternyata dalam riset kita bersama KPK, kecil sekali sistem merit yang sudah dipakai dijadikan sebuah standar oleh mutasi dan promosi jabatan di daerah. Ini menjadi pekerjaan rumah besar bagi BKN dan Kementerian PANRB,” jelasnya.
Penrad juga menyinggung kasus korupsi birokrasi yang baru-baru ini terjadi di Riau sebagai bukti konkret bahwa lemahnya merit sistem terus menjadi masalah serius di berbagai daerah.
“Partai Coklat” dan Tekanan Politik pada ASN
Kemudian, ia juga menyinggung menyoal isu politisasi ASN menjelang Pemilu 2024. Dia berpandangan fenomena “partai coklat” sebagai ancaman serius terhadap demokrasi dan independensi ASN.
"Ini bukan sebuah hal yang menarik, saya pikir dari segi demokrasi ini mendegradasi kualitas demokrasi kita. Mungkin dari segi internal, kawan-kawan PNS/ASN ini merasa ini merugikan mereka karena mereka harus mengambil resiko-resiko pilihan terlibat atau tidak terlibat (pemilu). Ketika terlibat, mereka akan digerakkan menjadi sebuah kekuatan politik yang seharusnya tidak sesuai dengan undang-undang ASN nomor 20 tahun 2023," ungkapnya.
Oleh sebab itu, ia meminta pemerintah perlu segera memasukkan perlindungan bagi ASN dalam undang-undang nomor 20 tahun 2023 agar hal serupa tak terulang lagi.
"Saya pikir kalaupun kita mau merevisi undang-undang nomor 20 tahun 2023, harus memasukkan ruang atau ada pasal perlindungan terhadap ASN sehingga tidak mendapatkan risiko seperti ini. Kasihan ini. Mereka diseret untuk masuk kelompok a, b, ataupun c. Jadi supaya kita mencegah tidak menyeret seperti ini, saya pikir cukuplah periode ini pemilu 2024 ini ada isu-isu partai coklat itu," tegasnya.
Mutasi ASN yang Tidak Manusiawi
Penrad juga menyoroti praktik mutasi ASN yang sering kali mengabaikan aspek kemanusiaan. Ia mencontohkan kasus di Sumatra Utara, di mana ASN dengan jabatan rendah dipindahkan ke lokasi yang sangat jauh dari tempat tinggal mereka.
“Di daerah saya, banyak ASN yang sudah berpuluh tahun bekerja tiba-tiba dimutasi ke tempat yang jauh sekali, salah satu contoh seperti dari Nias ke Pakpak Bharat. Mereka punya keluarga, anak-anak sekolah, tetapi tidak punya cukup uang untuk pindah. Mutasi seperti ini sangat tidak manusiawi dan harus segera dievaluasi,” tegasnya.
Krisis Guru Agama Kristen di Sumatra Utara
Salah satu isu penting yang dibawa Penrad adalah kurangnya perhatian terhadap kebutuhan formasi guru agama Kristen di daerah, khususnya di Sumatera Utara.
Ia menyebut formasi guru agama Kristen tidak dibuka dalam penerimaan ASN tahun ini, padahal kebutuhan sangat tinggi.
“Di Sumatera Utara, kebutuhan guru agama Kristen sangat mendesak. Dari total sekolah SD, SMP, hingga SMA, hanya 20% yang memiliki guru agama Kristen. Sisanya, 80% tidak terisi. Ini sangat memprihatinkan. Saya minta pemerintah membuka formasi guru agama Kristen dan agama lainnya yang sangat dibutuhkan, agar kebutuhan ini dapat terpenuhi,” pintanya.
Penrad pun mempertanyakan mengapa formasi tersebut tidak dibuka pada penerimaan ASN tahun ini.
"Kenapa formasi ini tidak dibuka. Saya pikir itu penting. Jadi guru-guru agama Islam, Kristen dll tidak dibuka dalam formasi penerimaan di periode, padahal itu sangat dibutuhkan dan sangat banyak kebutuhannya," ucap Penrad Siagian.[]