Oleh: Elida Fitri Dan Dr. Irwan Saputra,S.Kep.MKM.Ph.D. Mahasiswa Magister Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Syah Kuala Banda Aceh.
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) merupakan salah satu pilar penting dalam
upaya meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat.
PHBS mencakup berbagai aktivitas yang bertujuan untuk mencegah penyakit dan menjaga kesehatan tubuh secara optimal, seperti mencuci tangan dengan sabun, membuang sampah pada tempatnya, menggunakan air bersih, serta menerapkan pola makan sehat.
Namun, tantangan yang dihadapi dalam implementasi PHBS di lingkungan masyarakat cukup kompleks dan memerlukan pendekatan yang komprehensif.
Di tengah kondisi sosial, budaya, dan ekonomi yang beragam. Upaya untuk mendorong masyarakat agar menerapkan PHBS sering kali tidak berjalan mulus.
Oleh karena itu, penting untuk memahami tantangan yang ada dan mencari solusi yang tepat dalam menghadapi persoalan ini.
Salah satu tantangan utama dalam penerapan PHBS di masyarakat adalah kurangnya pengetahuan dan kesadaran tentang pentingnya perilaku hidup bersih dan sehat.
Banyak masyarakat, terutama di daerah pedesaan atau wilayah dengan tingkat pendidikan rendah, masih menganggap remeh pentingnya menjaga kebersihan dan kesehatan.
Misalnya, kebiasaan mencuci tangan dengan sabun sebelum makan atau setelah menggunakan toilet mungkin dianggap tidak begitu penting, padahal perilaku ini dapat mencegah penyebaran penyakit menular seperti diare dan infeksi saluran pernapasan.
"Edukasi yang berkelanjutan sangat diperlukan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pentingnya PHBS. Penyuluhan yang disesuaikan dengan kondisi lokal, serta melibatkan tokoh masyarakat yang dihormati dapat menjadi salah satu cara efektif untuk meningkatkan kesadaran," tulis Elida Fitri, Senin, 23 September 2024.
Selain itu, faktor budaya juga menjadi salah satu kendala dalam penerapan PHBS. Beberapa kebiasaan atau tradisi lokal mungkin tidak sejalan dengan prinsip hidup bersih dan sehat.
Sebagai contoh, di beberapa daerah, kebiasaan membuang sampah di sungai atau di sembarang tempat masih dianggap lumrah. Padahal, perilaku ini dapat mencemari lingkungan dan menjadi sumber berbagai penyakit.
Dalam hal ini, penting untuk menemukan pendekatan yang tidak hanya memaksakan perubahan, tetapi juga menghormati nilai-nilai budaya setempat.
Pendekatan yang partisipatif, dimana masyarakat dilibatkan dalam merumuskan solusi, dapat membantu meminimalisir resistensi dan mempercepat adopsi PHBS.
"Keterbatasan akses terhadap sarana dan prasarana pendukung juga menjadi tantangan serius. Di beberapa wilayah, terutama daerah terpencil atau daerah dengan infrastruktur yang minim, akses terhadap air bersih dan sanitasi yang layak masih menjadi masalah," sebut Mahasiswa Magister Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Syah Kuala Banda Aceh ini.
Menurut mereka, kondisi ini membuat penerapan PHBS menjadi sulit dilakukan, meskipun masyarakat sudah memiliki kesadaran.
Sebagai contoh, masyarakat yang tidak memiliki akses air bersih mungkin kesulitan untuk mencuci tangan secara rutin atau menjaga kebersihan lingkungan. Oleh karena itu, pemerintah dan pihak terkait perlu memperhatikan pembangunan infrastruktur yang mendukung penerapan PHBS.
"Seperti penyediaan air bersih, fasilitas sanitasi yang memadai, serta sistem pengelolaan sampah yang efektif," tulisnya.
Mereka menilai, tantangan lain yang sering dihadapi dalam penerapan PHBS adalah kebiasaan buruk yang sudah mengakar di masyarakat.
Perilaku merokok, misalnya, masih menjadi masalah serius di Indonesia. Meski sudah ada berbagai kampanye untuk mengurangi kebiasaan merokok, tingkat prevalensi perokok, terutama di kalangan laki-laki dewasa, masih sangat tinggi.
Kebiasaan merokok tidak hanya berdampak buruk bagi perokok itu sendiri, tetapi juga bagi orang di sekitarnya melalui paparan asap rokok atau perokok pasif.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan pendekatan yang lebih ketat, seperti penerapan kawasan tanpa rokok di tempat-tempat umum, serta meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya merokok melalui kampanye yang lebih masif dan terukur.
Juga soal pola makan yang tidak sehat, hal ini juga merupakan salah satu tantangan dalam penerapan PHBS di masyarakat.
"Dalam banyak kasus, masyarakat cenderung memilih makanan cepat saji atau makanan yang tinggi gula, garam, dan lemak, karena dianggap lebih praktis dan murah. Padahal, pola makan seperti ini dapat meningkatkan risiko penyakit tidak menular seperti obesitas, diabetes, dan penyakit jantung," kata Elida Fitri.
Tambah mereka, edukasi mengenai pentingnya pola makan sehat, serta
peningkatan akses terhadap pangan yang bergizi, harus menjadi prioritas dalam upaya penerapan PHBS.
Untuk mengatasi berbagai tantangan ini, diperlukan kerja sama dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah, swasta, hingga masyarakat itu sendiri.
Pemerintah memiliki peran penting dalam menyediakan regulasi dan fasilitas yang mendukung penerapan PHBS, seperti perbaikan akses air bersih, pengelolaan sanitasi, serta program-program edukasi kesehatan.
"Di sisi lain, sektor swasta juga dapat berkontribusi melalui program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), misalnya dengan mendukung pembangunan infrastruktur sanitasi atau memberikan edukasi tentang pentingnya PHBS di lingkungan kerja," ulasnya.
Masyarakat sendiri juga harus dilibatkan secara aktif dalam program-program PHBS. Kesadaran akan pentingnya menjaga kebersihan dan kesehatan harus ditanamkan sejak dini, melalui pendidikan formal di sekolah maupun non-formal di komunitas.
Perubahan perilaku memang memerlukan waktu, namun dengan pendekatan yang tepat dan berkelanjutan, tantangan penerapan PHBS dapat diatasi.
Secara keseluruhan, meskipun tantangan penerapan PHBS di masyarakat cukup
kompleks, hal ini bukanlah sesuatu yang tidak mungkin untuk diatasi.
Dengan edukasi yang tepat, akses yang memadai terhadap sarana dan prasarana, serta kerjasama dari berbagai pihak, penerapan PHBS dapat berhasil dan memberikan dampak positif bagi kesehatan masyarakat secara luas,"pungkasnya. []