Sulsel dan ICRAF Gagas Program Land4Lives

Provincial Coordinator ICRAF Indonesia di Sulawesi Selatan Muhammad Syahrir dan PLH Kepala Bappelitbangda Sulawesi Selatan Andi Bakti Haruni, saat diwawancarai, Jumat 9 Agustus 2024. (Foto: Alur/SY)

Makassar - Perubahan iklim diidentifikasi sebagai salah satu tantangan utama Indonesia dalam dua dekade mendatang. Hal ini pun masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJN) 2025-2045.

Tantangan perubahan iklim ini pun memberikan dampak kerugian ekonomi mencapai Rp 544 triliun selama 2020 hingga 2024, dan diperkirakan akan meningkat tanpa adanya ketahanan ekologi yang memadai.

Untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045, transformasi ketahanan sosial, budaya, dan ekologi menjadi langkah penting yang mencakup pencapaian lingkungan hidup berkualitas, ketahanan energi, air, pangan, serta resilien terhadap bencana dan perubahan iklim.

Sebagai bentuk komitmen mewujudkan ketahanan iklim di tengah kondisi saat ini the International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF) dengan dukungan Global Affairs Canada, melaksanakan program Sustainable Landscapes for Climate-Resilient Livelihoods in Indonesia atau Land4Lives (#LahanuntukKehidupan).

Program ini untuk mendukung upaya pemerintah di Indonesia, salah satunya Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dalam menciptakan ketahanan iklim.

Di Sulawesi Selatan, dokumen penting seperti roadmap dan masterplan pertumbuhan ekonomi hijau, RPJPD 2025-2045, serta rencana pengelolaan daerah aliran sungai (RPDAS) sedang disusun.

Memasuki tahun keempat, Land4Lives telah mencapai banyak kemajuan.

Saat ini, hasil kerja sama Pemprov Sulsel dengan ICRAF Indonesia melalui kegiatan riset-aksi Land4Lives telah memasuki tahap Ekspose Land4Lives Sulawesi Selatan.

PLH Kepala Bappelitbangda Sulawesi Selatan Andi Bakti Haruni mengatakan, kegiatan kolaborasi Pemprov Sulsel dengan Land4Lives sejalan dengan visi jangka panjang Sulawesi Selatan.

“Minimal ini juga menjadi catatan kami, menjadi estape pembangunan untuk membangun Sulawesi Emas,” ungkapnya, dalam kegiatan, di Maxeone Hotel Makassar, kemarin.

Provincial Coordinator ICRAF Indonesia di Sulawesi Selatan Muhammad Syahrir menjelaskan, Ekspose di Makassar merupakan ajang untuk menyebarluaskan pelajaran dari kegiatan-kegiatan Land4Lives yang telah berlangsung selama lebih dari tiga tahun.

“Sekaligus mengumpulkan masukan dari para pemangku kebijakan, akademisi, dan masyarakat sipil,” ujarnya.

Syahrir menjelaskan, dalam program ini memfokuskan tiga level. Pertama, level desa, Land4Lives menguatkan ketahanan pangan dan penghidupan masyarakat.

Kedua, di level lanskap, mengelola bentang lahan secara berkelanjutan dengan melibatkan berbagai pihak. Ketiga, di level provinsi, mendukung kebijakan serta perencanaan pembangunan yang mempertimbangkan daya dukung lingkungan.

Kegiatan riset-aksi ini, kata Syahrir, tidak hanya membangun ketahanan iklim di tingkat desa melalui pertanian cerdas iklim, kelompok usaha, pangan lokal tapi juga di tingkat bentang lahan dengan mendukung pengelolaan daerah aliran sungai, pengelolaan hutan, dan pembiayaan inovatif.

"Land4Lives juga mendorong peningkatan kapasitas tata kelola dan institusi untuk melindungi dan menyediakan jasa lingkungan serta keanekaragaman hayati," terang Syahrir.

Di Sulawesi Selatan, lokus kegiatan Land4Lives berada di Kabupaten Bone yang termasuk wilayah daerah aliran sungai (DAS) Billa Walanae.

Kawasan ini telah mengalami permasalahan ekologis di area yang terdegradasi, perubahan pola hujan dan permasalahan lingkungan lainnya akibat perubahan iklim.

"Ini berdampak pada masyarakat yang hidup di kawasan tersebut," ungkap Syahrir.

Perwakilan dari Global Affairs Canada (GAC) Hari Basuki menjelaskan, isu perubahan iklim merupakan hal penting yang menjadi perhatian Pemerintah Kanada.

Pemerintah Kanada, kata Hari, memahami bahwa wilayah Indo-Pasifik sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim, misalnya kenaikan permukaan laut, peristiwa cuaca ekstrem, dan kerusakan keanekaragaman hayati.

"Karena itu Kanada mendukung inisiatif-inisiatif untuk mengatasi dampak perubahan iklim," ujarnya.

Di tempat yang sama, Kepala Bidang Ekonomi dan SDA Bappelitbangda Sulawesi Selatan Inyo menjabarkan, visi Sulawesi Selatan dalam 20 tahun ke depan adalah Sulsel mandiri, maju, dan berkelanjutan dalam ekosistem ekonomi hijau dan biru.

Visi tersebut punya lima indikator yakni, peningkatan pendapatan per kapita, pengentasan kemiskinan dan ketimpangan, peningkatan daya saing daerah, peningkatan daya saing SDM, penurunan intensitas emisi gas rumah kaca (GRK).

Dia juga menjabarkan, isu-isu terkait perubahan iklim telah masuk sebagai indikator dalam rancangan awal (Ranwal) RPJPD Provinsi Sulsel. Indikator tersebut antara lain indeks ekonomi hijau, indeks pengelolaan keanekaragaman hayati, indeks kualitas lingkungan hidup, dan persentase penurunan emisi GRK secara kumulatif dan tahunan.

"Untuk mewujudkan visi Sulsel 2025-2045 ini, membutuhkan kerja sama multipihak,” tandas Inyo. []

Komentar Anda