Telapak: Tidak ada Pelanggaran HAM di Kawasan Konsesi Blok Tanamalia PTVI

Perkumpulan Telapak Indonesia (disebut Telapak), menggelar diskusi, Minggu 16 Juni 2024. (Foto: Ist)

Jakarta - Perkumpulan Telapak Indonesia (disebut Telapak), sebuah perkumpulan aktivis LSM, praktisi bisnis, akademisi, afiliasi media, serta masyarakat adat, menyampaikan rekomendasi kepada tiga pihak yakni PT Vale Indonesia (PTVI); Masyarakat di Lima Desa lingkar tambang PTVI Blok Tanamalia dan Pemkab Luwu Timur.

Rekomendasi ini terkait hasil kunjungan dan kajian baik dari sisi Sosial, Ekonomi dan Lingkungan pada 5 desa yang masuk dalam lingkar kawasan konsesi pertambangan di Blok Tanamalia PTVI, yang dilakukan Telapak sejak bulan Mei 2024 hingga bulan Juni 2024.

Dalam press conference yang dilaksanakan secara hybrid, Jumat (14/6/2024), di WU Hub Coworking Space Sabang, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Ketua Tim, Muhammad Djufryhard, menjelaskan, rekomendasi yang disampaikan kepada tiga pihak tersebut sekaligus merespon informasi tentang dugaan terjadinya pelanggaran HAM yang dilakukan PTVI.

Sebagaimana siaran yang disampaikan oleh FoE Jepang pada laman situs web yang di terbitkan pada tanggal 29 Agustus 2023 (https://foejapan.org/en/issue/20230908/14297/), khususnya terkait dengan aktivitas PT VI di Blok Tanamalia.

Adapun rekomendasi yang disampaikan berdasarkan hasil kunjungan dan kajian yang dilakukan Telapak, ungkap Ketua Tim Telapak, Muhammad Djufryhard, yakni PTVI
sebaiknya segera melalukan musyawarah sebagai langkah untuk terus membangun kesepahaman dengan masyarakat desa di lingkar tambang Blok Tanamalia yang dapat menjadi upaya mitigasi konflik sejak awal.

Mengedepankan upaya dialog terbuka dan mediasi dengan melibatkan tokoh desa atau mediator independen yang dipercaya oleh semua pihak dalam penyelesaian konflik tanpa keterlibatan aparat keamanan negara (TNI/Polri).

“Melakukan kemitraaan, pemberdayaan, pendampingan dan penguatan kapasitas ekonomi serta penghidupan masyarakat melalui model kemitraan dalam pengelolaan kawasan perkebunan yang bernilai ekonomi tinggi serta memfasilitasi adanya kelembagaan ekonomi yang mandiri dan kuat di tingkat desa seperti koperasi.

Membangun sarana prasarana penunjang bagi peningkatan produktifitas dan pengolahan hasil panen kebun merica sehingga menghasilkan lada yang berkualitas baik dan mendorong lahirnya rumah produksi turunan produk lada tersebut untuk menaikkan harga jual dan membuka peluang lapangan kerja baru bagi Masyarakat,”tukasnya.

Untuk Masyarakat di 5 Desa lingkar tambang PTVI Blok Tanamalia, sebut Muhammad Djufryhard, bersedia duduk bersama dengan PTVI.

Pertemuan untuk membicarakan adanya kesepahaman dan kesepakatan pengelolaan perkebunan merica yang beririsan dengan blok tambang PTVI melalui model sistem kemitraan yang difasilitasi oleh organisasi independen dalam tata kelola lahan perkebunan merica.

Dan menerima program pemberdayaan serta pendampingan dari PTVI untuk penguatan ekonomi dan penghidupan keluarga yang mengedepankan prinsip keterbukaan, keadilan antar pihak serta keberlanjutan konservasi alam yang lebih baik lagi.

"Bersama parapihak memastikan lahirnya kelembagaan ekonomi di tingkat desa yang mampu mengelola dan mengembangkan potensi ekonomi secara baik dan berkelanjutan."jelasnya.

Sedangkan rekomendasi ketiga, ditujukan kepada Pemkab Luwu Timur, untuk bersedia dan mampu memposisikan diri sebagai mediator dalam membangun dialog terbuka antara masyarakat dengan PTVI guna proses penyelesaiaan konflik tata kelola lahan di Blok Tanamalia.

“Rekomendasi ke Pemkab Luwu Timur dengan harapan bisa mendorong lahirnya sistem kemitraan pengelolaan kawasan sebagai bagian dari komitmen pemerintah untuk mitigasi konflik tata kelola sumber daya alam,” tambahnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Tim, Martian Sugiarto, menjelaskan tujuan kunjungan dan kajian, diantaranya, adalah apakah ada dan tidaknya Pelanggaran HAM.

Dan hasil kajian menunjukkan fakta belum ada satupun perkebunan merica yang dikelola masyarakat yang diserobot oleh PTVI. Masyarakat masih tetap beraktifitas mengelola perkebunan merica mereka dengan aman.

Tidak ditemukan rekaman atau catatan bentuk kekerasan, pemaksaan, pengusiran bahkan peringatan untuk pengosongan kepada masyarakat yang dilakukan oleh
PTVI.

“Kami juga tidak melihat konsentrasi aparat keamana (TNI/POLRI) di desa lingkar tambang sekitar kawasan konsesi PTVI atau yang menjaga keamanan di lokasi Blok Tanamalia. Tidak ada pemasangan tanda batas atau pemagaran yang menandakan batas wilayah konsesi perusahaan atau pelarangan pada masyarakat untuk memasuki kawasan perkebunan merica yang berada dalam wilayah konsesi,” tuturnya

Martian Sugiarto melanjutkan, sampai saat ini kondisi masyarakat di Desa Loeha dan Rante Angin (area IUP Eksplorasi PTVI) tampak tenteram.

Tidak tampak tanda-tanda kecemasan maupun konflik antara perusahaan dan masyarakat. Selama beberapa tahun, Pemerintah 5 Desa di Loeha Raya telah membangun kerja sama dengan PTVI melalui program tanggungjawab sosial perusahaan (CSR).

Program CSR tersebut diperuntukkan untuk membangun sarana prasarana lintas desa, fasilitas olahraga, demplot kebun merica, wisata desa dan pengembangan UMKM desa.

Dan secara fakta yang kami temukan, PTVI sebagai perusahaan yang dituding melakukan pelanggaran HAM karena dianggap menyerobot lahan kebun merica yang dikelola masyarakat melalui kegiatan eksplorasi, tidaklah benar.

Karena dari aspek perijinan, perusahaan sudah memiliki hak pengelolaan pertambangan melalui kontrak karya, yang pada Mei 2024 diubah menjadi Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

"Dapat disimpulkan bahwa perusahaan sudah melakukan tahapan aktivitas sesuai prosedur dan peraturan di bidang pertambangan,”pungkasnya.[]

Komentar Anda