Warga Tolak Eksekusi Tanah Sengketa di Kuala Batee Abdya, Ini Alasannya

Kuasa Hukum saat memberikan keterangan pers. (Foto: istimewa).

Abdya - Eksekusi lahan seluas kurang lebih 4 hektar di Desa Kuala Terubu, Kecamatan Kuala Batee, Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) yang telah diputuskan oleh Mahkamah Agung (MA) ditolak warga setempat dan pihak tergugat.

Eksekusi yang dijadwalkan berlangsung pada, Kamis (19/6/2025) oleh Pengadilan Negeri (PN) Blangpidie, tidak dilaksanakan lantaran masyarakat dan kuasa hukum pihak tergugat menyuarakan penolakan dengan dalih adanya kejanggalan serius dalam proses hukum yang telah bergulir sejak 2021 lalu.

Kuasa hukum Umi Salamah Cs, Ahmad Fadhli, SH yang didampingi Imelda dan Novriandi, menegaskan bahwa kliennya bukan menolak hukum, namun menolak eksekusi yang menurut mereka cacat prosedur dan mengandung ketidakadilan.

"Kami tidak menolak hukum. Namun, kami menolak eksekusi yang didasarkan pada putusan yang kami nilai janggal dan tidak memperhatikan fakta-fakta di lapangan, termasuk keberadaan Sertifikat Hak Milik (SHM) milik klien kami yang terbit sejak 2011," kata Ahmad, Jumat, 20 Juni 2025.

Ahmad menjelaskan bahwa objek perkara yang disengketakan oleh penggugat atas nama Husnizam, warga Kota Subulussalam, disebut berada di Gampong Blang Dalam, Kecamatan Babahrot.

Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa objek tersebut secara administratif dan fisik berada di Dusun I Blang Mee, Gampong Kuala Terubu, Kecamatan Kuala Batee.

“Secara geografis, sangat tidak masuk akal apabila objek perkara yang diklaim berada di Gampong Blang Dalam dapat sampai ke lokasi yang berada di Kuala Terubu tanpa melewati dua gampong lain, yakni Alue Peunawa dan Geulanggang Gajah. Ini membuktikan bahwa lokasi tanah yang disengketakan tidak berada di wilayah hukum yang disebutkan oleh penggugat,” tegas Ahmad.

Menurutnya, fakta tersebut seharusnya menjadi pertimbangan penting dalam pengambilan keputusan oleh Majelis Hakim PN Blangpidie yang kala itu diketuai oleh Zulkarnain, didampingi Sakirin dan Muhammad Sutan Alfaiz.

Namun, bukti-bukti yang diajukan oleh pihak tergugat, termasuk SHM dan keterangan saksi batas tanah, justru diabaikan.

Ahmad juga mempertanyakan keabsahan sertifikat milik penggugat yang diterbitkan pada tahun 2018 oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Abdya.

Padahal, kata dia, lahan tersebut telah memiliki SHM atas nama kliennya yang terbit jauh lebih dahulu, yakni pada tahun 2011.

“Kenapa BPN bisa menerbitkan sertifikat baru di atas tanah yang sudah bersertifikat sebelumnya? Kami mencium adanya kejanggalan dalam proses administrasi di BPN saat itu. Bahkan, kami sudah melayangkan surat keberatan ke Kanwil BPN Aceh, Kementerian ATR/BPN di Jakarta, serta menyampaikan laporan ke Komisi III DPR RI dan Presiden,” terang Ahmad.

Menurutnya, jika benar BPN menerbitkan sertifikat baru tanpa verifikasi lapangan yang jelas dan tanpa pengecekan sertifikat sebelumnya, maka ini bukan hanya kesalahan prosedural, tetapi bisa mengarah pada dugaan pelanggaran hukum.

Ahmad juga menyoroti perjalanan panjang kasus ini di tingkat PN Blangpidie, Pengadilan Tinggi, hingga Mahkamah Agung.

Ia menyayangkan bahwa bukti dan saksi yang diajukan pihaknya tidak dijadikan pertimbangan oleh Majelis Hakim. Padahal, penggugat sendiri tidak pernah menghadirkan saksi batas tanah dalam persidangan.

“Dalam hukum perdata, khususnya perkara sengketa tanah, batas tanah adalah elemen sangat penting untuk membuktikan kepemilikan dan posisi objek sengketa. Tapi entah mengapa, pertimbangan itu tidak muncul dalam putusan majelis,” sebutnya.

Ia menambahkan, jika proses hukum yang berlaku tidak mempertimbangkan fakta lapangan dan bukti kuat dari tergugat, maka keadilan sulit tercapai.

“Ini bukan hanya tentang hukum di atas kertas, tapi juga keadilan substansial di masyarakat,” katanya.

Penolakan terhadap eksekusi tanah tidak hanya datang dari pihak tergugat, tetapi juga dari warga setempat dan aparatur desa.

Dalam proses eksekusi yang dikawal oleh aparat kepolisian, turut hadir Keuchik Gampong Kuala Terubu dan Keuchik Geulanggang Gajah.

Keduanya menyatakan bahwa tanah yang hendak dieksekusi berada di wilayah administratif Gampong Kuala Terubu, bukan Blang Dalam.

“Ini menunjukkan bahwa secara administrasi desa pun objek tanah ini tidak masuk wilayah Blang Dalam seperti yang diklaim penggugat,” tegas Ahmad.

Karena adanya penolakan warga dan tidak adanya kehadiran dari pihak Gampong Blang Dalam, PN Blangpidie akhirnya memutuskan untuk membatalkan sementara proses eksekusi hingga waktu yang belum ditentukan.

Ahmad dan tim kuasa hukum menyatakan bahwa mereka akan terus memperjuangkan hak kliennya melalui jalur yang sah dan konstitusional.

Mereka berharap Ketua PN Blangpidie yang baru, Munawar Hamidi, dapat meninjau ulang penetapan eksekusi berdasarkan perkara No. 2/Pdt.Eks/2024.

“Kami juga meminta kepada Mahkamah Agung agar membatalkan proses eksekusi ini sampai ada kejelasan menyeluruh soal batas tanah dan legalitas sertifikat yang dimiliki masing-masing pihak,” tegasnya.

Ia menambahkan, penolakan ini bukan tindakan melawan hukum, tetapi upaya mempertahankan hak dan mencegah potensi kerugian bagi masyarakat dan pihak yang telah sah memiliki tanah tersebut.

“Kami akan terus berjuang demi keadilan, tidak hanya untuk klien kami, tetapi juga untuk masyarakat yang terdampak langsung oleh keputusan ini. Jangan sampai hukum menjadi alat untuk melegitimasi kekeliruan administratif dan ketidakadilan,” kata Ahmad Fadhli. []

Komentar Anda