Makassar - Menyikapi keberadaan masyarakat adat nusantara, pemerintah Indonesia saat ini sudah mulai memberikan ruang yang begitu besar dalam konstituen.
Hal ini dikarenakan sebagian masyarakat Indonesia yang merupakan komunitas adat masih eksis mendiami tanah ulayat (tanah adat) yang tersebar di pegunungan dan hutan yang umumnya dikenal kaya akan sumber daya alam dan mineral.
Bertepatan dengan perayaan HIMAS atau International Day of the World’s Indigenous Peoples yang dirayakan setiap 9 Agustus, sebuah film yang digarap Redmoon Studio bekerja sama dengan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sulsel dan Kemendikbudristek berjudul Tanah Batu Pare seolah merefleksikan realitanya.
Film bergenre dokudrama yang diproduksi di Kalumpang Sulawesi Barat itu memberikan edukasi sosial serta visi tentang perlindungan hak-hak masyarakat adat di Indonesia.
Beragam tantangan yang dihadapi oleh Masyarakat Adat di Indonesia terkait pembangunan yang berorientasi pada peningkatan ekonomi secara makro, telah berdampak pada keterancaman eksistensi, identitas, dan ketahanan Masyarakat Adat atas tatanan kehidupan tradisionalnya.
Hal itu menyangkut dengan perampasan wilayah adat yang dibarengi dengan rentetan konflik yang merongrong identitas budaya dan alam lingkungannya.
Film Tanah Batu Pare setidaknya mencoba membuka sedikit ruang untuk memahami masalah sosial terkait dengan hak kolektif yang menjamin perlindungan terhadap masyarakat adat dalam cakupan sebuah wilayah adat.
Bagi Masyarakat Adat, kebudayaan itu berada dalam satu kesatuan, dan kebudayaaan itu melekat pada wilayah adat. Melindungi adat, maka melindungi pula alamnya.
Semoga film Tanah Batu Pare bisa menjadi salah satu media yg bisa ikut mendukung kebijakan pemerintah dalam pengesahan rancangan UU Pemajuan Kebudayaan yang akan menjadi pelindung hak-hak masyarakat adat diseluruh Indonesia. []