Alur.id
    Berita    Detail Article

Menag Gus Yaqut Buka AICIS 22 di UIN SA Surabaya, Ini Pesannya

Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas. (Foto: Ist)

Surabaya - Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas membuka secara langsung Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) 22 di Sport Center UIN Sunan Ampel, Surabaya, Selasa (2/5/2023).

Dalam pembukaan itu, Gus Yaqut didampingi Gubernur Jawa Timur, Kofifah Indar Parawansa, Direktorat Jenderal (Dirjend) Pendidikan Islam Kemenag, Prof Ali Ramdhani.

Dalam sambutannya, Gus Menteri ini menegaskan sangat prihatin dengan masih terjadinya konflik yang mengatasnamakan agama di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.

Namun, kata Dia konflik semacam itu bisa dicegah jika masyarakat memiliki pandangan keagamaan yang inklusif.

Rekontekstualisasi hukum di berbagai agama, termasuk fikih, menjadi sebuah keharusan.

"Setiap ahli agama semestinya kembali mendalami ajarannya, jika menemukan unsur yang dapat membahayakan hidup berdampingan dan perdamaian maka harus berani mempertimbangkan tafsir yang baru yang memungkinkan kita semua hidup berdampingan secara damai," tegas Menag Yaqut.

"Rekontekstualisasi hukum di berbagai agama, termasuk fikih, mutlak dilakukan sebagai salah satu untuk mencegah konflik," sambungnya.

Menurut Menag, saat ini dunia berada di ambang kekacauan. Ini antara lain ditandai dengan maraknya perang, resesi global, kelangkaan energi dan pangan, serta pertentangan antaragama dan keyakinan di berbagai negara.

Sebagai manusia yang dianugerahi akal, lanjut Menag, seseorang tidak boleh hanya diam tapi harus memilih di bagian mana  bisa berkontribusi untuk peradaban.

"Mari kita kembali melihat agama sebagai sumber ajaran mulia yang memerintahkan kita untuk mengembangkan kebajikan (akhlaqul karimah) dan untuk menjadi berkah bagi semua ciptaan, atau Rahmatan Li al-'Alamin," ujarnya.

Dalam konteks Islam, Menag berharap AICIS ke-22 ini membahas Fikih hubungan muslim dengan non muslim. Gus Men, panggilan akrab Menag, menilai tema ini sangat penting dan menarik. Sebab, relevan dengan apa yang sedang dihadapi saat ini.

"Saya berharap diskusi dalam forum AICIS ini dilakukan secara serius, utamanya Fikih terkait hubungan antara muslim dan non muslim. Fikih tentang status kafir dan non kafir. Sambil terus menggali dan memecah kebekuan Fikih vis a vis realitas sosial untuk dibahas pada forum-forum selanjutnya," sambung Menag.

Menag juga berharap topik yang dibahas dalam AICIS relevan dan kontekstual dengan kebutuhan. Dikatakannya, dalam agama, ada hal yang bersifat tetap (the unchangeable/ats-tsaabit) dan ada yang berubah (the changeable/al-mutahawwil).

Soal akidah, hukum dan tata cara salat, puasa ramadan, zakat dan haji bersifat tetap.

Tetapi soal harta yang wajib dizakati, atau mahram dalam haji, mungkin saja berubah.

Ini menunjukkan bahwa fikih sebagai produk ijtihad ulama, bersifat dinamis, tidak statis. Sehingga fikih mampu menjawab persoalan-persoalan baru yang muncul.

"Tantangannya adalah soal keberanian untuk membongkarnya. Beranikah para kiai pesantren dan dunia kampus mengubah pandangannya bahwa fikih bukanlah teks suci dan sakral, sebagaimana Al-Qur’an dan hadist. Lebih-lebih, kebanyakan fikih lahir pada masa abad pertengahan, belum tentu relevan dalam konteks sekarang," tandas Menag.

Untuk itu, forum AICIS, yang mengundang para intelektual dari berbagai belahan dunia ini diharapkan menjadi media yang tepat untuk mendiskusikan sekaligus mencari solusi atas berbagai persoalan dunia saat ini.

Dirjen Pendidikan Islam Kemenag Ali Ramdhani mengatakan, AICIS 2023 mengangkat tema "Recontextualizing Fiqh for Equal Humanity and Sustainable Peace".

Dia mendorong forum AICIS memberikan rekomendasi nyata dan empirik terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat demi terwujudnya perdamaian yang berkelanjutan.

Forum AICIS ke-22 ini menampilkan 180 paper pilihan yang terbagi menjadi 48 kelas paralel.

Selain diikuti para ahli fikih dari kalangan pesantren, forum ini juga menghadirkan cendekiawan muslim internasional. []