Alur.id
    Berita    Detail Article

Perspektif Filsafat Terhadap Tren Kesehatan di Era Modern

Elida Fitri, S.ST. BD, Mahasiswa Magister Manajemen Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. (Foto: istimewa)

OPINI Oleh: Elida Fitri. S.ST. bersama Dr. H.Said Usman, S.Pd.,M.Kes.

“Filsafat Kesehatan Masyarakat” Gaya Hidup Konsumerisme dan Kesehatan

GAYA hidup konsumerisme telah menjadi salah satu ciri utama masyarakat modern, termasuk di Indonesia, yang memengaruhi berbagai aspek kehidupan, termasuk kesehatan.

Konsumerisme tidak hanya tentang konsumsi barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan, tetapi juga cara mengonsumsi sebagai bentuk pencitraan diri dan simbol status.

Dalam konteks kesehatan, konsumerisme telah mengubah cara masyarakat memandang kesehatan, dari kebutuhan dasar menjadi komoditas yang dipasarkan dengan narasi aspiratif.

Di Indonesia, fenomena ini terlihat dari meningkatnya tren gaya hidup sehat yang sering kali lebih berfokus pada pencitraan daripada substansi.

Perspektif filsafat menawarkan cara untuk memahami bagaimana konsumerisme membentuk pemahaman tentang kesehatan, dampaknya terhadap individu dan masyarakat, serta tantangan etis yang muncul.

Di era modern, kesehatan tidak lagi hanya dipandang sebagai keadaan bebas dari penyakit, tetapi juga sebagai bagian dari gaya hidup yang dapat diukur melalui penampilan fisik, kebugaran, atau konsumsi produk kesehatan tertentu.

Di Indonesia, tren ini terlihat dari semakin populernya makanan organik, suplemen kesehatan, layanan gym premium, hingga alat kebugaran berbasis teknologi.

Produk-produk ini sering dipasarkan dengan citra aspiratif yang mengaitkan kesehatan dengan kesuksesan dan kebahagiaan. Misalnya, iklan minuman detoks sering kali menggambarkan pengguna sebagai individu produktif, ceria, dan berprestasi.

Jean Baudrillard, dalam teorinya tentang simulacra, menjelaskan bahwa dalam masyarakat konsumeris, simbol dan citra sering kali menggantikan realitas.

Dalam konteks ini, produk kesehatan tidak lagi hanya tentang manfaatnya, tetapi juga tentang citra yang melekat padanya.

Fenomena ini didorong oleh media sosial yang semakin memperkuat tren gaya hidup sehat sebagai bagian dari identitas.

Di Indonesia, unggahan foto makanan sehat, rutinitas olahraga, atau penggunaan alat kebugaran canggih menjadi bentuk pencitraan yang menunjukkan gaya hidup modern.

Sayangnya, banyak individu yang lebih fokus pada pencitraan daripada substansi kesehatan itu sendiri.

Contohnya, seseorang yang membeli makanan organik atau mengikuti diet tren tertentu mungkin melakukannya bukan karena kebutuhan kesehatan, melainkan untuk mendapatkan pengakuan sosial.

Dalam perspektif filsafat tubuh Michel Foucault, tubuh manusia di era modern sering kali menjadi objek pengawasan dan kontrol yang diatur oleh norma-norma sosial.

Di Indonesia, kontrol ini diperkuat oleh tekanan budaya dan media sosial yang mengeksploitasi kecemasan masyarakat tentang tubuh yang "tidak sempurna." Salah satu dampak nyata dari konsumerisme kesehatan di Indonesia adalah meningkatnya obsesi terhadap tubuh ideal.

Media sosial dan iklan secara konsisten mempromosikan standar tubuh ideal, seperti tubuh langsing, berotot, dan kulit cerah, yang sering kali tidak realistis bagi sebagian besar masyarakat.

Standar ini diperkuat oleh industri kesehatan yang menawarkan berbagai solusi instan, seperti suplemen pembakar lemak, minuman pelangsing, hingga layanan klinik estetika.

Narasi ini menciptakan tekanan besar, terutama di kalangan perempuan dan anak muda, untuk memenuhi standar kecantikan yang tidak selalu berkorelasi dengan kesehatan sejati.

Dampak psikologis dari obsesi ini tidak dapat diabaikan. Banyak individu yang merasa tidak puas dengan tubuh mereka mengalami kecemasan, rendah diri, hingga gangguan makan seperti anoreksia atau bulimia.

Dalam perspektif filsafat eksistensial, Søren Kierkegaard dan Jean-Paul Sartre menekankan pentingnya menerima diri sendiri sebagai individu yang unik.

Namun, dalam masyarakat konsumeris, nilai-nilai ini sering kali terpinggirkan oleh tekanan untuk menjadi versi "terbaik" dari diri sendiri yang ditentukan oleh standar industri.

Di Indonesia, standar tubuh ideal juga sering kali dipengaruhi oleh faktor budaya. Kulit cerah, misalnya, masih dianggap lebih "cantik" di banyak wilayah, yang mendorong penggunaan produk pemutih kulit yang sering kali tidak aman.

Tekanan budaya ini menunjukkan bagaimana konsumerisme memanfaatkan norma sosial yang sudah ada untuk menciptakan pasar baru.

Sayangnya, fenomena ini tidak hanya merugikan secara finansial, tetapi juga berpotensi membahayakan kesehatan fisik dan mental konsumen.

Konsumerisme kesehatan di Indonesia juga menciptakan tantangan terkait keadilan sosial. Produk dan layanan kesehatan yang sering kali dipasarkan sebagai "solusi gaya hidup sehat" umumnya memiliki harga yang tinggi, sehingga hanya dapat diakses oleh kalangan menengah ke atas.

Makanan organik, membership gym, atau layanan kesehatan berbasis teknologi sering kali menjadi simbol eksklusivitas yang sulit dijangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah.

Ketimpangan ini mencerminkan masalah mendasar dalam distribusi sumber daya kesehatan.

Dalam teori keadilan sosial John Rawls, keadilan harus memastikan bahwa semua individu memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai kesejahteraan.

Namun, di Indonesia, banyak daerah terpencil yang bahkan masih kesulitan mendapatkan layanan kesehatan dasar, sementara masyarakat perkotaan menikmati layanan premium.

Fenomena ini menunjukkan bagaimana konsumerisme kesehatan lebih memprioritaskan keuntungan ekonomi daripada pemerataan layanan kesehatan.

Selain itu, pemasaran produk kesehatan di Indonesia sering kali tidak diiringi dengan edukasi yang memadai.

Banyak masyarakat yang terjebak pada klaim produk tanpa memahami bukti ilmiah di baliknya. Contohnya, popularitas minuman herbal yang disebut-sebut mampu "menghilangkan racun" dari tubuh sering kali tidak didukung oleh penelitian yang kuat.

Dari perspektif filsafat kritis, fenomena ini menunjukkan bagaimana individu sering kehilangan otonomi dalam membuat keputusan rasional karena tekanan pasar dan norma sosial.

Meski banyak dampak negatif, konsumerisme kesehatan juga membawa beberapa dampak positif, terutama dalam meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kesehatan.

Di Indonesia, tren gaya hidup sehat telah mendorong munculnya inovasi dalam layanan kesehatan, seperti platform digital untuk konsultasi dokter, aplikasi pemantau kebugaran, hingga startup yang menawarkan layanan tes kesehatan berbasis teknologi.

Halodoc dan Alodokter adalah contoh bagaimana teknologi dapat menjangkau masyarakat yang lebih luas dengan memberikan akses mudah ke layanan kesehatan.

Namun, manfaat ini hanya dapat dirasakan jika digunakan secara bijak. Produk atau layanan kesehatan yang berbasis teknologi harus dipastikan benar-benar memenuhi kebutuhan medis konsumen, bukan hanya menjadi alat pencitraan atau simbol status.

Edukasi masyarakat juga menjadi kunci agar konsumen dapat membedakan antara kebutuhan kesehatan yang nyata dan sekadar tren.

Dari perspektif filsafat, penting untuk merefleksikan kembali makna kesehatan sebagai keseimbangan antara tubuh, pikiran, dan lingkungan sosial.

Di Indonesia, nilai-nilai lokal seperti gotong royong dan solidaritas dapat menjadi dasar untuk membangun pendekatan kesehatan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

Misalnya, kampanye kesehatan berbasis komunitas dapat mengajarkan masyarakat pentingnya pola hidup sehat tanpa harus bergantung pada produk mahal.

Pemerintah juga perlu mengambil peran lebih aktif dalam mengatur pemasaran produk kesehatan, memastikan bahwa klaim produk didasarkan pada bukti ilmiah yang valid.

Selain itu, regulasi terhadap harga produk kesehatan juga perlu diperkuat untuk mengurangi kesenjangan akses.

Dengan langkah-langkah ini, masyarakat dapat lebih fokus pada substansi kesehatan daripada sekadar citra yang diciptakan oleh konsumerisme.

Pada akhirnya, filsafat membantu kita memahami bahwa kesehatan bukan hanya tentang tubuh yang ideal atau produk yang dikonsumsi, melainkan tentang kualitas hidup yang seimbang dan bermakna.

"Konsumerisme mungkin telah membentuk cara kita memandang kesehatan di era modern, tetapi dengan refleksi yang kritis dan tindakan yang tepat, kita dapat mengembalikan keseimbangan dan menciptakan masyarakat Indonesia yang lebih sehat, inklusif, dan adil," tulis Elida Fitri. S.ST. []