Alur.id
    Berita    Detail Article

Semoga Kita Terhindar dari 7 Kebutaan Kepemimpinan

Elida Fitri Dan Dr. Irwan Saputra,S.Kep.MKM.Ph.D. Mahasiswa Magister Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Syah Kuala Banda Aceh.

Opini: Oleh Elida Fitri, Mahasiswa Magister Kesehatan Masyarakat Universitas Syiah Kuala BANDA ACEH.

Konsep "7 Kebutaan" atau Seven Learning Disabilities yang diperkenalkan oleh Peter Senge dalam bukunya The Fifth Discipline menyajikan pemahaman mendalam tentang hambatan dalam belajar, terutama bagi pemimpin dalam organisasi.

Kebutaan ini tidak hanya berlaku pada individu tetapi juga dalam tim dan organisasi secara keseluruhan.

Kebutaan tersebut menjadi penghalang bagi perubahan dan inovasi karena mereka terjebak dalam pola pikir dan cara pandang yang terbatas.

Dalam dunia yang terus berubah, kemampuan untuk beradaptasi dan belajar dari lingkungan sangat penting bagi keberhasilan organisasi.

"Sayangnya, banyak pemimpin yang terperangkap dalam kebutaan ini sehingga sulit untuk menerima perubahan yang diperlukan. Kebutaan pertama, I Am My Position (Aku Adalah Posisi Saya), mencerminkan kecenderungan individu untuk terlalu fokus pada peran mereka dalam organisasi dan kehilangan pandangan terhadap gambaran besar, mereka mengidentifikasi diri mereka hanya dengan tanggung jawab yang melekat pada jabatan mereka, bukan sebagai bagian dari sistem yang lebih besar," tulis Elida Fitri, Mahasiswa Magister Kesehatan Masyarakat Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Rabu, 25 September 2024.

Sebagai contoh, lanjutnya, seorang manajer produksi di sebuah pabrik mungkin hanya berfokus pada output harian dan efisiensi mesin, tanpa mempertimbangkan bagaimana proses produksinya memengaruhi kepuasan pelanggan atau reputasi perusahaan secara keseluruhan.

Dalam studi kasus nyata, kebutaan ini dapat dilihat pada beberapa perusahaan besar yang akhirnya mengalami penurunan kinerja karena para pemimpinnya hanya fokus pada target jangka pendek tanpa memperhatikan dinamika pasar secara keseluruhan.

Kebutaan kedua, The Enemy is Out There (Musuh Berada di Luar Sana),
menggambarkan bagaimana individu dan organisasi seringkali menyalahkan faktor eksternal atas kegagalan yang dialami.

Kecenderungan ini membuat mereka sulit untuk melakukan introspeksi dan perbaikan internal.

Misalnya, sebuah perusahaan ritel yang terus menyalahkan perubahan tren belanja online sebagai alasan penurunan penjualan, tanpa menyadari bahwa
masalah sebenarnya ada pada model bisnis yang sudah usang dan kurangnya inovasi dalam layanan pelanggan.

"Contoh nyata dari kebutaan ini adalah Blockbuster, perusahaan penyewaan film yang gagal beradaptasi dengan perubahan dalam industri digital. Blockbuster terlalu lama menyalahkan platform seperti Netflix dan pergeseran tren konsumen tanpa merespons perubahan tersebut secara proaktif," terangnya.

Selanjutnya, The Illusion of Taking Charge (Ilusi Kendali Penuh) mengacu pada sikap
seorang pemimpin yang tampak "mengambil kendali", tetapi sebenarnya hanya bereaksi terhadap situasi tanpa benar-benar memahami akar masalahnya.

Pemimpin yang berusaha menampilkan otoritas sering kali membuat keputusan impulsif tanpa analisis mendalam.

Sebagai contoh, seorang CEO perusahaan teknologi mungkin memberlakukan pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran untuk mengatasi penurunan keuntungan.

"Meskipun langkah tersebut dapat terlihat sebagai tindakan tegas, keputusan itu mungkin tidak menyelesaikan masalah mendasar, seperti produk yang kurang inovatif atau strategi pemasaran yang tidak efektif," sebutnya.

The Fixation on Events (Fiksasi pada Peristiwa) menggambarkan kebiasaan orang untuk terjebak pada peristiwa individu tanpa melihat tren atau pola yang lebih besar.

Misalnya, ketika terjadi penurunan penjualan, banyak organisasi hanya merespons peristiwa tersebut dengan langkah-langkah taktis, seperti menawarkan diskon atau promosi, tanpa melihat perubahan perilaku konsumen dalam jangka panjang.

Sebuah contoh yang relevan adalah perusahaan ritel tradisional yang hanya berfokus pada musim belanja tertentu, sementara tren belanja online berkembang pesat sepanjang tahun.

The Parable of the Boiled Frog (Perumpamaan Katak yang Direbus) adalah metafora tentang bagaimana individu atau organisasi sering gagal mendeteksi perubahan lambat yang terjadi di sekitar mereka.Kegagalan untuk melihat gambaran yang lebih besar menyebabkan perusahaan tersebut tertinggal dalam persaingan.

The Parable of the Boiled Frog (Perumpamaan Katak yang Direbus) adalah metafora tentang bagaimana individu atau organisasi sering gagal mendeteksi perubahan lambat yang terjadi di sekitar mereka.

Seperti katak yang tidak menyadari bahwa air di sekitarnya perlahanlahan dipanaskan hingga mendidih, organisasi yang terjebak dalam kebutaan ini sering kali
gagal menyadari bahwa situasi mereka semakin buruk.

Sebuah contoh nyata dapat ditemukan dalam industri surat kabar tradisional, di mana banyak perusahaan media gagal merespons dengan cepat terhadap pergeseran digital dan media sosial.

"Mereka tetap bergantung pada model bisnis cetak, meskipun perlahan-lahan kehilangan pembaca dan pendapatan iklan," ulasnya.

The Delusion of Learning from Experience (Ilusi Belajar dari Pengalaman)
mengungkapkan kesalahan dalam asumsi bahwa pengalaman selalu menghasilkan
pembelajaran yang efektif.

Faktanya, banyak organisasi yang mengalami kegagalan berulang karena mereka tidak benar-benar belajar dari kesalahan mereka.

Contohnya adalah perusahaan otomotif yang berkali-kali mengeluarkan model kendaraan yang gagal di pasar karena tidak belajar dari umpan balik pelanggan tentang desain atau fitur yang diinginkan.

Akhirnya, The Myth of the Management Team (Mitos Tim Manajemen) menyoroti
bagaimana tim manajemen sering kali tampak bersatu, tetapi sebenarnya ada ketidaksepakatan dan disfungsi di balik layar.

Ketika tim manajemen gagal untuk secara terbuka menangani perbedaan pendapat, hal ini dapat menyebabkan keputusan yang buruk.

"Sebuah contoh nyata adalah runtuhnya Lehman Brothers pada tahun 2008, di mana perbedaan pendapat di antara eksekutif puncak tentang strategi bisnis tidak diatasi dengan baik, yang pada akhirnya berkontribusi pada kebangkrutan perusahaan," kata dia.

Menurutnya, dari semua kebutaan ini tentu dapat diambil pelajaran bahwa kemampuan untuk berubah tidak hanya membutuhkan keterbukaan untuk belajar, tetapi juga kesediaan untuk mengakui kelemahan dan kerentanan dalam sistem.

Pemimpin yang sukses adalah mereka yang mampu melihat gambaran besar, belajar dari pengalaman secara efektif, dan mendorong tim mereka untuk berkolaborasi dalam suasana transparansi.

"Karena jika tidak, mereka akan terus terjebak dalam lingkaran kebutaan yang menghambat perubahan dan pertumbuhan," ucapnya.

Dalam konteks kepemimpinan di Aceh maupun secara nasional, banyak tantangan yang dihadapi oleh para pemimpin dalam menangani permasalahan yang kompleks, seperti tata kelola pemerintahan, pembangunan ekonomi, hingga isu-isu lingkungan.

Salah satu permasalahan signifikan yang dihadapi di Aceh adalah ketergantungan yang berlebihan pada dana otonomi khusus (Otsus) yang telah menjadi tulang punggung pembangunan daerah.

"Namun, pemanfaatannya sering kali tidak efektif, dan justru memperlihatkan beberapa kebutaan yang menghambat inovasi dan kemajuan," tulisnya.

Kebutaan "I Am My Position" tercermin pada banyak pemimpin lokal yang hanya
berfokus pada bidang tanggung jawab mereka tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang pada pembangunan daerah.

Misalnya, dinas yang bertanggung jawab atas infrastruktur mungkin hanya fokus pada pembangunan fisik tanpa memikirkan dampak ekologis atau kesejahteraan sosial masyarakat setempat.

Hal ini menyebabkan proyek-proyek infrastruktur di Aceh, seperti jalan dan jembatan, sering kali dilakukan tanpa memperhatikan aspek lingkungan atau pengembangan ekonomi jangka panjang.

Kebutaan "The Enemy is Out There" sering terjadi ketika kegagalan pembangunan di
Aceh disalahkan pada faktor eksternal, seperti rendahnya pendapatan daerah atau ketergantungan pada dana pusat.

Namun, masalah utama yang sering diabaikan justru adalah internal, seperti lemahnya transparansi dan tata kelola, serta rendahnya kapasitas Aparatur Sipil Negara dalam mengelola program.

Sebagai contoh, rendahnya penyerapan anggaran daerah seringkali disebabkan oleh ketidakmampuan dalam perencanaan dan eksekusi program, bukan karena minimnya dana dari pusat.

Kebutaan "The Illusion of Taking Charge" terlihat pada banyak pemimpin di Aceh yang mencoba menunjukkan otoritas dengan memberlakukan kebijakan yang tampak tegas, namun sering kali tidak menyelesaikan masalah inti.

Misalnya, pengumuman proyek besar tanpa studi kelayakan yang memadai kerap kali berakhir dengan kegagalan karena tidak berakar pada pemahaman mendalam tentang kondisi lokal dan kebutuhan masyarakat.

Kebutaan "The Parable of the Boiled Frog" tampak dalam banyak kebijakan di Aceh
yang gagal merespons perubahan sosial dan ekonomi yang terjadi secara bertahap.

Misalnya, pemerintah daerah sering lambat dalam menyesuaikan strategi pembangunan dengan perkembangan teknologi dan tren global, seperti dalam sektor pariwisata, di mana Aceh memiliki potensi besar namun gagal memanfaatkan teknologi digital dan tren wisata global secara optimal.

Kebutaan "The Myth of the Management Team" juga terlihat pada ketidakharmonisan antar pejabat pemerintahan di berbagai tingkatan di Aceh.

Alih-alih bekerja sebagai tim yang solid untuk mencapai tujuan bersama, perbedaan pendapat atau persaingan antar lembaga sering menyebabkan fragmentasi dalam pelaksanaan kebijakan, yang pada akhirnya menghambat implementasi program-program yang lebih baik.

Pada tingkat nasional, pola kebutaan serupa juga terlihat dalam berbagai isu penting, seperti penanganan pandemi COVID-19, pembangunan infrastruktur, dan reformasi birokrasi.

Contoh nyata dari kebutaan "The Illusion of Taking Charge" adalah pendekatan "top-down" yang sering diambil dalam pengambilan kebijakan, di mana pemimpin nasional terlihat mengambil kendali penuh namun kebijakan yang diterapkan seringkali reaktif dan kurang didukung oleh data yang komprehensif.

Beberapa rekomendasi yang dapat diberikan antara lain, fokus pada pemetaan sistem secara menyeluruh untuk menghindari kebutaan "I Am My Position", penguatan kapasitas internal untuk mengatasi kebutaan "The Enemy is Out There", pengambilan keputusan berbasis data untuk menghindari kebutaan "The Illusion of Taking Charge", pemantauan perubahan secara aktif untuk mengatasi kebutaan "The Parable of the Boiled Frog", serta peningkatan transparansi dan kolaborasi dalam tim kepemimpinan guna menghindari kebutaan "The Myth of the Management Team". []Sari perspektif berpikir sistem, solusi untuk mengatasi berbagai kebutaan ini memerlukan pendekatan holistik dan keterbukaan untuk memahami dinamika dalam sistem yang lebih luas.

Beberapa rekomendasi yang dapat diberikan antara lain, fokus pada pemetaan sistem secara menyeluruh untuk menghindari kebutaan "I Am My Position", penguatan kapasitas internal untuk mengatasi kebutaan "The Enemy is Out There", pengambilan keputusan berbasis data untuk menghindari kebutaan "The Illusion of Taking Charge", pemantauan perubahan secara aktif untuk mengatasi kebutaan "The Parable of the Boiled Frog", serta peningkatan transparansi dan kolaborasi dalam tim kepemimpinan guna menghindari kebutaan "The Myth of the Management Team". []